.....MENGUPAS KERAGAMAN WACANA MASAKINI........

Sabtu, 04 Desember 2010

Apa Kabar Mahasiswa STAI Tasikmalaya?

Oleh: Asep M Tamam*

Saat ini, ada selaksa perasaan mampir di benak mahasiswa-mahasiswa kita. Sesaat lagi, mereka akan memasuki kelas baru di tingkat dua, tiga ataupun tingkat empat. Tapi pastinya, perasaan yang mendera calon mahasiswa tingkat satu lebih berwarna-warni. Tak terkecuali para calon mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya. Mereka datang, tentunya dari wilayah yang berbeda dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Ada yang alumni Madrasah Aliyah, ada juga yang keluar dari SMU. Ada yang berlatarbelakang pesantren dan ada juga yang tak pernah mengenyam dunia pesantren sama sekali. Perbedaan itu tak hanya sampai di sana, STAI adalah lembaga yang ideal untuk percontohan keanekaragaman keislaman karena mahasiswa-mahasiswinya berlatarbelakang organisasi keagamaan yang berbeda, NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain.

STAI dan segenap civitas akademiknya, pastinya tengah bersiap menyambut mahasiswa-mahasiswa baru yang akan meramaikan dunia pendidikan tinggi di kota santri ini. Semua calon mahasiswa pastinya bertekad untuk siap membawa perubahan, minimal perubahan diri sendiri, juga perubahan sosial dengan segala dimensinya yang telah mereka pelajari ketika masih duduk di kursi SMA/Aliyah. Mereka memandang kampus yang akan mereka ‘sambangi’ menjadi wadah pemuasan gairah belajar, berdiskusi, dan berkarya. Sebagian dari mereka mengasumsikan kampus sebagai tempat ekspresi kepeduliannya untuk perubahan dan perbaikan sosial politik. Sebagian dari mereka ada juga yang apatis, yang penting kuliah, duduk di kursi, mendengar ceramah dosen bila dosennya hadir, lalu pulang dan begitu seterusnya.

Begitulah kampus yang dalam romantisme sejarahnya penuh dinamika. Ia begitu unik karena suasana dan pernak pernik kegiatannya berbeda dengan sekolah. Tak seperti di SD, SMP atau SMA (MI, MTs atau Aliyah), di kampus mereka menemukan berbagai kelonggaran. Seragam kuliah yang bebas (tapi sopan) secara tidak langsung mengikrarkan mereka sebagai manusia yang  tak lagi terkungkung oleh beban peraturan. Di kampus, mereka akan bertemu dengan gagasan baru yang tak biasanya. Mata kuliah yang diajarkan tak seperti mata pelajaran di sekolah yang menitikberatkan hafalan dan pemahaman, tapi menitikberatkan pada penalaran dan daya kritis. Bagi mereka yang ingin pemikirannya mati, kampus memberikan peluang untuk itu karena kehadiran mahasiswa dan dosen tak lagi seketat di sekolah. Tapi bagi mereka yang ingin menggairahkan nalar dan pemikirannya, maka kampus telah menyejarah dalam melahirkan pemikir-pemikir yang independen dan menjadi rujukan pemikiran hari ini, esok, dan masa depan, kaliber lokal, regiona,l maupun nasional. Kampus juga yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang menyemarakkan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Maka tak ayal, kampus adalah sebuah tahapan institusi pendidikan yang sangat unik.

Apa Kabar Mahasiswa Priatim?  
Bila dalam pemberitaan media massa lokal Priatim mahasiswa sering diidentikkan dengan aksi massa, maka aksi intelektual pun telah cukup lama menggejala. Aksi massa yang melibatkan mahasiswa adalah keniscayaan sejarah. Entahlah, apakah mereka turun ke jalan karena alasan melanjutkan tradisi sejarah atau ada alasan lain yang identik dengan idealitas mereka ketika menyaksikan anomali sosial yang terhampar di depan mata. Bisa dibayangkan bila kezhaliman para ponggawa negeri ini dibiarkan, maka tak ada energi untuk menegakkan social equilibrum (keseimbangan kehidupan sosial). Salah satu tonggak harapan ada pada jiwa suci para mahasiswa. Maka sejarah telah mengajarkan bahwa di hampir kebanyakan negara di dunia, mahasiswa menjadi bagian tak terpisahkan dari perubahan hingga revolusi sosial. Siapa yang meragukan, bahwa tokoh utama reformasi Indonesia ketika era orde lama tumbang, ketika era orde baru hancur, adalah sebuah korp yang bernama mahasiswa.

Bahwa mahasiswa ada di garda terdepan dalam wacana perubahan, itu akan berlangsung terus dalam lintasan sejarah sosial umat manusia hingga masa yang akan datang. Namun ada pemandangan lain yang menghawatirkan. Hari ini, sebagian warga masyarakat –termasuk di antaranya mahasiswa itu sendiri– mencurigai misi dari aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Ketika anarkisme menjadi bahasa yang dipilih, ketika impresi mereka tak beda dengan preman, ketika gerakan mereka menjauhi jalur keilmuan yang berbasis kebenaran universal, maka ekspresi demokrasi ternodai dan pada saat itu, harga diri mereka dipertaruhkan. Belum lagi, aksi mereka turun ke jalan –walaupun tidak mudah untuk dibuktikan– ditenggarai bernuansa kepentingan pragmatisme. 

Momentum kebangkitan mahasiswa memang tentatif. Ia hadir menjadi pahlawan ketika keadaan darurat dan tak ada lagi kekuatan yang mampu mendobrak tradisi. Ketika kondisi sosial membaik, maka wadah ekspresi mereka ada di kampus, rumah mereka sendiri. Di sinilah mereka mengaktualisasikan diri sebagai representasi dari kekuatan intelektual. Sebagai komunitas yang hidup dalam nuansa dan gairah keilmuan, maka mereka tak akan kenyang dan puas dengan materi yang diajarkan secara formal di kelas. Kampus, demikian yang berulangkali penulis dengar waktu kulah dulu, hanya menyumbangkan 30% saja dari informasi ilmu bagi mahasiswa. Selebihnya adalah apa yang mereka dapatkan dari bahan bacaan, aktualisasi diri di organisasi intra dan ekstra kampus dan terlebih dari akseptabilitas dan akses mereka terhadap perkembangan wacana ideology, sosial, politik, ekonomi dan lain-lain yang terjadi dan berkembang di setiap masanya. Penulis masih ingat ungkapan rektor UIN Jakarta, Prof. DR. Komaruddin Hidayat yang menegaskan agar para mahasiswanya jangan kuliah di UIN, tapi mereka harus kuliah di Jakarta. Maksudnya, mereka jangan hanya ‘ulukutek’ di kampus saja, tapi bahkan harus terus mengakses berbagai wacana kekinian, keislaman dan kebangsaan.
 
Kuatkan Budaya Intelektual
Akhir-akhir ini, geliat mahasiswa di wilayah Priangan Timur lebih semarak. Sebagai dosen yang mengajar di kota Tasik, Kabupaten Tasik dan Kabupaten Ciamis, penulis merasakan gejala positif itu kian menguat. Budaya positif organisasi yang telah melekat tak akan lekang oleh derasnya persaingan, tapi bahkan semakin mengakar akan terus melembaga. Sampai di sini  kita berbangga kepada mereka, terlebih bila mengaca pada realitas, mahasiswa yang kritis selalu mengasah maturitas kritisisme mereka pada organisasi kemahasiswaan yang jasa-jasanya telah nyata ditorehkan dengan tinta emas.

Organisasi-organisasi kemahasiswaan di Priatim, sejak dulu memang telah sukses memberikan kontribusinya terhadap wacana kedaerahan hingga wacana nasional. Namun yang lebih membanggakan adalah kentalnya watak intelektual yang mereka usung dan menjadi titik tumpu perjuangan mereka. Dimensi politik memang lekat dengan keseharian mereka, tapi aspek intelektual juga justru mengemuka dan menyemburat ke permukaan. Gejala positif seperti ini akan dengan jelas kita saksikan di kampus-kampus kita akhir-akhir ini. Forum kajian berkala dan buletin yang dijadikan wadah ekspresi dan aktualisasi diri. Bila kegiatan seperti ini bisa dipertahankan dan dikembangkan, maka mahasiswa kita sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan mahasiswa lainnya di kota-kota besar semisal Jakarta, Jogja, Bandung, dan kota-kota besar lainnya yang telah mengembangkan tradisi positif ini berpuluh tahun lamanya.

Koran-koran lokal di Priatim, belum lama ini telah kembali memberikan porsi istimewa terhadap para mahasiswa. Walau hadir tidak setiap hari, namun kegiatan mahasiswa secara berkala diekspos dalam rubrik khusus untuk mereka. Rubrik opini dan wacana yang biasanya diisi para tokoh senior, kini telah memberikan kesempatan yang terbuka bagi mahasiswa yang mengirimkan naskah tulisan dan bersaing secara positif dengan penulis senior. Ekspresi bayani berbentuk tulisan, mungkin lebih kuat pengaruhnya bagi perubahan dibanding turun ke jalan. Watak ilmiyah terlihat kuat dengan ide dan gagasan tertulis daripada harus teriak-teriak di jalan dan mengganggu aktivitas pihak-pihak tertentu. Memang, dua aktivitas itu positif, namun bila dilihat dari sisi keterhormatan, maka gagasan tertulis tentulah memiliki bobot yang lebih elegan.

Tulisan tentang aktivitas mahasiswa di daerah tentu tak bisa rampung dengan satu dua judul artikel. Aktivitas mereka yang unuik, biarlah tertulis dalam ingatan kita dan wacana sesungguhnya tentu lebih faktual bila kita termasuk bagian dari aktivitas dan keseharian mereka. Kini, kita bersiap menghadapi kehadiran penghuni-penghuni baru yang siap meramaikan kampus-kampus kita, dalam suasana di mana mahasiswa-mahasiswa kita, kini tengah berada on the right track. 

Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah dosen UIN SGD Bandung. Mengajar di STAI Tasikmalaya, IAIC dan UNIGAL Ciamis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar