.....MENGUPAS KERAGAMAN WACANA MASAKINI........

Sabtu, 04 Desember 2010

Fitrah mahasiswa,,bukanlah sekedar wacana

Huda Nur Alawiyah
08.01.03.016
Mahasiswa PAI A SMT V
 Mahasiswa dilahirkan sebagai makhluk prestisius yang memiliki konsekuensi hidup untuk dirinya sendiri dan juga orang lain.
Keberadaannya menjadi suatu titik tolak dari kemajuan atupun kemunduran dari sebuah kelompok masyarakat.
Konsekuensi yang diemban seorang mahasiswa terkadang begitu berat diterima oleh mahasiswa baru yang sudah terbiasa dimanjakan oleh peraturan sekolah ketika di sekolah menengah atas. Menyadarkan dirinya yang kini telah menjadi seorang siswa yang maha terkadang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sifat yang selalu ingin disuapi dan dimanjakan sulit dihilangkan. Terlenanya dalam sifat itu membuat mahasiswa sebagai kaum elit  dan etis sama sekali tidak berguna untuk masyarakat yang merupakan konsekuensi hidupnya sebagai mahasiswa.
Diawali dengan menumbuhkan kembali salah satu karakter anak-anak, yaitu rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa tahu ini akan membuat mahasiswa menjadi lebih dari sekedar pelajar yang hanya duduk diruang kelas, ataupun hanya membaca literatur untuk menyelesaikan makalahnya. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat ataupun orang-orang yang jauh tidak seberuntung dia. Dia akan berani menginpretasikan apa yang ia presentasikan di kelas dalam dunia nyata. Nyata dalam realita pahitnya kehidupan dan persaingan untuk hidup.
Dia akan belajar tidak sebagai anak keraton saja yang selalu serba ada, dan di kelilingi segala yang ia inginkan, ia pun akan belajar bagaimana menjadi anak jalanan yang tempat tinggal pun  tak punya.
Kemudian dengan menumbuhkan karakter baru yaitu menjelmakan dirinya menjadi manusia luar biasa yang cermat mengintip masalah, cerdas mencari solusi, dan pandai membuat kemaslahatan.
Mendobrak segala hal yang dianggap tabu dan hal-hal yang menjadi akar pemalasan adalah salah satu bentuk terapi psikologis yang bisa membantu seseorang menjadimahasiswa yang seutuhnya. Sebagai contoh kecil saja, seseorang yang merasa takut akan ulat, harus mau belajar apa sih sebenarnya ulat itu? Apakah dia akan menggigitnya? Atau seberapa besarkah manfaat ulat itu? Jika ia menyadari betapa banyak orang yang menggantungkan hidup pada sesuatu yang ia takuti, dan ulat itu binatang yang tidak bisa berlari cepat untuk menggigitnya maka sungguh dia telah berhasil melawan salah satu bentuk pembodohan terhadap dirinya sendiri. Terjun langsung menghadapi  hal-hal yang kamu takuti sendiri sangatlah penting. Seorang mahasiswa harus bisa menjadi orang yang tidak pernah mempercayai harumnya mawar sebelum ia menciumnya sendiri.
Segala hal yang ditakutkan dalam hati hanyalah pikiran belaka. Erbe Sentanu mengajarkan positif feeling sebagai salah satu penyelesaiannya, karena ketakutan itu diciptakan oleh pikiranmu sendiri sebagai negatif thinking.
Kaum elit yang etis ini harus bisa balance dalam segala hal. Bisa membalance-kan antara tanggung jawabnya sebagai mahasiswa yang memiliki kewajiban akademis di kampus, dan juga sebagai kaum elite yang etis yang memiliki tanggung jawab moral, dan sosial terhadap masyarakat, merupakan fitrah yang harus dimiliki setiap mahasiswa.
Akan tetapi, kemirisan yang menjadi realita, bahwa mayoritas mahasiswa telah menjadi mahasiswa yang setengah-setengah. Proses pendidikan di kampus menjadi dianggap tidak berhasil menjadikannya mahasiswa yang seutuhnya, yang multitalent dan multifungsi. Kesalahan sistem pendidikan yang cenderung lebih merobotkan manusia adalah titik tolaknya. Jika saja tidak ada campur tangan kepentingan industri yang membutuhkan manusia-manusia berhati robot, tentulah tidak akan pernah ada istilah sarjana pengangguran. Apakah pemerintah tidak malu jika melihat sarjana-sarjananya kesana-kemari mencari sebuah pekerjaan dengan menenteng map?
Peka terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak wajar terjadi dimasyarakat harus mengakar dalam hati seorang mahasiswa.
Jangana berani menyebut dirimu sebagai mahasiswa jika  belum bisa menorehkan sejarah perubahan minimal di lingkungan sendiri. Berani membela ketidakadilan yang dilakukan oleh birokrat pemerintahan maupun kampus sendiri merupakan bentuk kepedulian akan kehidupan yang harmonis dan sejahtera juga demi kemajuan di masa yang akan datang. Hidupnya seorang mahasiswa bukan hanya sebagai pewacana, tapi sebagai penggerak pembaharuan.
Seorang mahasiswa yang bergerak di bidang kesehatan harus bisa membantu masyarakat yang tidak mengerti bagaimana prosedure pembayaran bagi masyarakat tidak mampu dan membuat senyum mereka merekah kembali. Bukan hanya menjadi pelayan kebijakan yang hanya mendorong-dorong roda di koridor rumah sakit di tengah malam.
Begitu juga seorang mahasiswa yang ia ditakdirkan untuk bergerak di bidang pendidikan harus bisa mencerdaskan anak bangsa yang kurang begitu beruntung dibandingkan dirinya. Membantu mendapatkan beasiswa, ataupun dengan membantu dalam bidang akademisnya yang memang kurang mereka pahami. Ketidakpercayaan ini dibuktikan dengan berdirinya LSM-LSM yang bekerjasama dengan pemerintah, mengapa tidak langsung saja bekerjasama dengan Organisasi Kemahasiswaan. Mahasiswa tidak mampu menembus jaringan kebeasiswaan.
Kini, mengapa hal-hal sepele yang seharusnya menjadi kewajiban seorang mahasiswa, seperti hal-hal di atas lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat??
Apakah ini merupakan salah satu bentuk dari kemunduran mahasiswa-mahasiswi kita?
Ataupun kepercayaan terhadap mahasiswa sebagai kaum elit yang etis sudah kian pudar??
Atau memang ini yang diinginkan Kementrian Pendidikan kita, yaitu mahasiswa yang bisa diatur-atur sebagai mesin dan dimatikan hatinya sesuai kebutuhan monopoli industri atau sebagai hedonism-hedonism yang telah dibutakan mata hatinya dengan uang?
Itulah yang menjadi PR kita saat ini. Mengembalikan citra mahasiswa yang sebenarnya. Sebagai salah satu bagian dari kelompok masyarakat yang akan memajukan kembali peradaban yang sebenarnya. Berpretasi dalam segala bidang.
Semoga kita bisa mengembalikan hal tersebut dan menjalaninya dengan positif feeling sebagai mahasiswa, yang kepulangannya masih dinanti oleh masyarakat yang sudah kian kehilangan arah.

  

محرمات استهان بهاالناس

DOSA-DOSA YANG DIANGGAP BIASA
Compoiled by H. Ayat Ruhiyat 08 01 154

(Season 1)

MENGINJAK, DUDUK DAN BUANG AIR DI KUBURAN
Abu Hurairah RA berkata, Rosulullah SAW bersabda :
ِلأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتَحْرِقُ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصُ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌلَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلىَ قَبْرٍ (رواه مسلم )
Artinya : seseorang dari kalian duduk diatas bara api sehingga terbakar bajunya hingga sampai ke kulitnya lebih baik baginya daripada duduk diatas kuburan (HR Muslim:2/667)
       Ketika mengubur mayit,sebagian orang ada yang tak mengindahkan jalan yang mesti dilaluinya, sehingga di sana sini menginjak kuburan,bahkan terkadang dengan sepatu atau sandal mereka ,tanpa sedikitpun rasa hormat kepada yang sudah meninggal. Tentang besarnya persoalan ini,Rasulullah SAW bersabda :
ِلأَنْ أَْمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَخْصِفَ نَعْلِىْ بِرِجْلِىْ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِىَ عَلىَ قَبْرٍ مُسْلِمٍ
 (رواه ابن ماجه)
Artinya : Berjalan diatas bara api atau pedang atau menambal sepatu dengan kakiku sendiri, lebih aku sukai daripada aku berjalan diatas kuburan seorang muslim (HR Ibnu Majah 1l499 dalam Shahihul Jami :5038
           Lalu,bagaimana dengan orang yang menguasai tanah kuburan kemudian diatasnya dibangun pusat perbelanjaan atau perumahan elit? Na udzubilah.
Sebagian orang yang tidak memiliki Itikad baik apabila ingin membuang air besar ia pergi ke kuburan kemudian buang air di atasnya sehingga mengganggu orang-orang meninggal dengan najis dan bau busuknya.
Nabi SAW bersabda :
وَمَا أُباَلِيْ أَوَسْطُ الْقَبْرِ قَضَيْتُ حاَجَتِىْ أَوْ وَسْطُ السُّوْقِ (رواه ابن ماجه)
Artinya : Dan aku tidak peduli, apakah aku buang air besar di tengah kuburan atau di tengah pasar  (HR Ibnu Majah,1l499, Dalam Shahihul Jami 5038)
            Artinya, keburukan buang air di kuburan sama dengan buruknya membuka aurat dan buang air besar di tengah-tengah orang banyak di dalam pasar. Orang yang suka melemparkan kotoran dan sampah ke komplek kuburan, terutama kuburan-kuburan yang terpencil dan dindingnya mulai runtuh mereka akan mendapat bagian dari ancaman tersebut, Diantara adab yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah melepas sandal dan sepatu saat ingin berjalan diantara sela-sela kuburan.
Bersambung………….

Apa Kabar Mahasiswa STAI Tasikmalaya?

Oleh: Asep M Tamam*

Saat ini, ada selaksa perasaan mampir di benak mahasiswa-mahasiswa kita. Sesaat lagi, mereka akan memasuki kelas baru di tingkat dua, tiga ataupun tingkat empat. Tapi pastinya, perasaan yang mendera calon mahasiswa tingkat satu lebih berwarna-warni. Tak terkecuali para calon mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya. Mereka datang, tentunya dari wilayah yang berbeda dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Ada yang alumni Madrasah Aliyah, ada juga yang keluar dari SMU. Ada yang berlatarbelakang pesantren dan ada juga yang tak pernah mengenyam dunia pesantren sama sekali. Perbedaan itu tak hanya sampai di sana, STAI adalah lembaga yang ideal untuk percontohan keanekaragaman keislaman karena mahasiswa-mahasiswinya berlatarbelakang organisasi keagamaan yang berbeda, NU, Muhammadiyah, PERSIS dan lain-lain.

STAI dan segenap civitas akademiknya, pastinya tengah bersiap menyambut mahasiswa-mahasiswa baru yang akan meramaikan dunia pendidikan tinggi di kota santri ini. Semua calon mahasiswa pastinya bertekad untuk siap membawa perubahan, minimal perubahan diri sendiri, juga perubahan sosial dengan segala dimensinya yang telah mereka pelajari ketika masih duduk di kursi SMA/Aliyah. Mereka memandang kampus yang akan mereka ‘sambangi’ menjadi wadah pemuasan gairah belajar, berdiskusi, dan berkarya. Sebagian dari mereka mengasumsikan kampus sebagai tempat ekspresi kepeduliannya untuk perubahan dan perbaikan sosial politik. Sebagian dari mereka ada juga yang apatis, yang penting kuliah, duduk di kursi, mendengar ceramah dosen bila dosennya hadir, lalu pulang dan begitu seterusnya.

Begitulah kampus yang dalam romantisme sejarahnya penuh dinamika. Ia begitu unik karena suasana dan pernak pernik kegiatannya berbeda dengan sekolah. Tak seperti di SD, SMP atau SMA (MI, MTs atau Aliyah), di kampus mereka menemukan berbagai kelonggaran. Seragam kuliah yang bebas (tapi sopan) secara tidak langsung mengikrarkan mereka sebagai manusia yang  tak lagi terkungkung oleh beban peraturan. Di kampus, mereka akan bertemu dengan gagasan baru yang tak biasanya. Mata kuliah yang diajarkan tak seperti mata pelajaran di sekolah yang menitikberatkan hafalan dan pemahaman, tapi menitikberatkan pada penalaran dan daya kritis. Bagi mereka yang ingin pemikirannya mati, kampus memberikan peluang untuk itu karena kehadiran mahasiswa dan dosen tak lagi seketat di sekolah. Tapi bagi mereka yang ingin menggairahkan nalar dan pemikirannya, maka kampus telah menyejarah dalam melahirkan pemikir-pemikir yang independen dan menjadi rujukan pemikiran hari ini, esok, dan masa depan, kaliber lokal, regiona,l maupun nasional. Kampus juga yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang menyemarakkan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Maka tak ayal, kampus adalah sebuah tahapan institusi pendidikan yang sangat unik.

Apa Kabar Mahasiswa Priatim?  
Bila dalam pemberitaan media massa lokal Priatim mahasiswa sering diidentikkan dengan aksi massa, maka aksi intelektual pun telah cukup lama menggejala. Aksi massa yang melibatkan mahasiswa adalah keniscayaan sejarah. Entahlah, apakah mereka turun ke jalan karena alasan melanjutkan tradisi sejarah atau ada alasan lain yang identik dengan idealitas mereka ketika menyaksikan anomali sosial yang terhampar di depan mata. Bisa dibayangkan bila kezhaliman para ponggawa negeri ini dibiarkan, maka tak ada energi untuk menegakkan social equilibrum (keseimbangan kehidupan sosial). Salah satu tonggak harapan ada pada jiwa suci para mahasiswa. Maka sejarah telah mengajarkan bahwa di hampir kebanyakan negara di dunia, mahasiswa menjadi bagian tak terpisahkan dari perubahan hingga revolusi sosial. Siapa yang meragukan, bahwa tokoh utama reformasi Indonesia ketika era orde lama tumbang, ketika era orde baru hancur, adalah sebuah korp yang bernama mahasiswa.

Bahwa mahasiswa ada di garda terdepan dalam wacana perubahan, itu akan berlangsung terus dalam lintasan sejarah sosial umat manusia hingga masa yang akan datang. Namun ada pemandangan lain yang menghawatirkan. Hari ini, sebagian warga masyarakat –termasuk di antaranya mahasiswa itu sendiri– mencurigai misi dari aksi mahasiswa yang turun ke jalan. Ketika anarkisme menjadi bahasa yang dipilih, ketika impresi mereka tak beda dengan preman, ketika gerakan mereka menjauhi jalur keilmuan yang berbasis kebenaran universal, maka ekspresi demokrasi ternodai dan pada saat itu, harga diri mereka dipertaruhkan. Belum lagi, aksi mereka turun ke jalan –walaupun tidak mudah untuk dibuktikan– ditenggarai bernuansa kepentingan pragmatisme. 

Momentum kebangkitan mahasiswa memang tentatif. Ia hadir menjadi pahlawan ketika keadaan darurat dan tak ada lagi kekuatan yang mampu mendobrak tradisi. Ketika kondisi sosial membaik, maka wadah ekspresi mereka ada di kampus, rumah mereka sendiri. Di sinilah mereka mengaktualisasikan diri sebagai representasi dari kekuatan intelektual. Sebagai komunitas yang hidup dalam nuansa dan gairah keilmuan, maka mereka tak akan kenyang dan puas dengan materi yang diajarkan secara formal di kelas. Kampus, demikian yang berulangkali penulis dengar waktu kulah dulu, hanya menyumbangkan 30% saja dari informasi ilmu bagi mahasiswa. Selebihnya adalah apa yang mereka dapatkan dari bahan bacaan, aktualisasi diri di organisasi intra dan ekstra kampus dan terlebih dari akseptabilitas dan akses mereka terhadap perkembangan wacana ideology, sosial, politik, ekonomi dan lain-lain yang terjadi dan berkembang di setiap masanya. Penulis masih ingat ungkapan rektor UIN Jakarta, Prof. DR. Komaruddin Hidayat yang menegaskan agar para mahasiswanya jangan kuliah di UIN, tapi mereka harus kuliah di Jakarta. Maksudnya, mereka jangan hanya ‘ulukutek’ di kampus saja, tapi bahkan harus terus mengakses berbagai wacana kekinian, keislaman dan kebangsaan.
 
Kuatkan Budaya Intelektual
Akhir-akhir ini, geliat mahasiswa di wilayah Priangan Timur lebih semarak. Sebagai dosen yang mengajar di kota Tasik, Kabupaten Tasik dan Kabupaten Ciamis, penulis merasakan gejala positif itu kian menguat. Budaya positif organisasi yang telah melekat tak akan lekang oleh derasnya persaingan, tapi bahkan semakin mengakar akan terus melembaga. Sampai di sini  kita berbangga kepada mereka, terlebih bila mengaca pada realitas, mahasiswa yang kritis selalu mengasah maturitas kritisisme mereka pada organisasi kemahasiswaan yang jasa-jasanya telah nyata ditorehkan dengan tinta emas.

Organisasi-organisasi kemahasiswaan di Priatim, sejak dulu memang telah sukses memberikan kontribusinya terhadap wacana kedaerahan hingga wacana nasional. Namun yang lebih membanggakan adalah kentalnya watak intelektual yang mereka usung dan menjadi titik tumpu perjuangan mereka. Dimensi politik memang lekat dengan keseharian mereka, tapi aspek intelektual juga justru mengemuka dan menyemburat ke permukaan. Gejala positif seperti ini akan dengan jelas kita saksikan di kampus-kampus kita akhir-akhir ini. Forum kajian berkala dan buletin yang dijadikan wadah ekspresi dan aktualisasi diri. Bila kegiatan seperti ini bisa dipertahankan dan dikembangkan, maka mahasiswa kita sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan mahasiswa lainnya di kota-kota besar semisal Jakarta, Jogja, Bandung, dan kota-kota besar lainnya yang telah mengembangkan tradisi positif ini berpuluh tahun lamanya.

Koran-koran lokal di Priatim, belum lama ini telah kembali memberikan porsi istimewa terhadap para mahasiswa. Walau hadir tidak setiap hari, namun kegiatan mahasiswa secara berkala diekspos dalam rubrik khusus untuk mereka. Rubrik opini dan wacana yang biasanya diisi para tokoh senior, kini telah memberikan kesempatan yang terbuka bagi mahasiswa yang mengirimkan naskah tulisan dan bersaing secara positif dengan penulis senior. Ekspresi bayani berbentuk tulisan, mungkin lebih kuat pengaruhnya bagi perubahan dibanding turun ke jalan. Watak ilmiyah terlihat kuat dengan ide dan gagasan tertulis daripada harus teriak-teriak di jalan dan mengganggu aktivitas pihak-pihak tertentu. Memang, dua aktivitas itu positif, namun bila dilihat dari sisi keterhormatan, maka gagasan tertulis tentulah memiliki bobot yang lebih elegan.

Tulisan tentang aktivitas mahasiswa di daerah tentu tak bisa rampung dengan satu dua judul artikel. Aktivitas mereka yang unuik, biarlah tertulis dalam ingatan kita dan wacana sesungguhnya tentu lebih faktual bila kita termasuk bagian dari aktivitas dan keseharian mereka. Kini, kita bersiap menghadapi kehadiran penghuni-penghuni baru yang siap meramaikan kampus-kampus kita, dalam suasana di mana mahasiswa-mahasiswa kita, kini tengah berada on the right track. 

Wallaahu min waraa al- qashd

*Penulis adalah dosen UIN SGD Bandung. Mengajar di STAI Tasikmalaya, IAIC dan UNIGAL Ciamis.


Kamis, 02 Desember 2010

Menulis Biografi

Biografi, secara sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah kisah riwayat hidup seseorang. Biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun juga dapat berupa lebih dari satu buku.
Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta-fakta dari kehidupan seseorang dan peran pentingnya sementara biografi yang panjang meliputi, tentunya, informasi-informasi penting namun dikisahkan dengan lebih mendetail dan tentunya dituliskan dengan gaya bercerita yang baik.
Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu. Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang susah" atau "ambisi dan pencapaian"). Walau begitu, beberapa yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu.
Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan-bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memaparkan peranan subyek biografi itu.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain:

  • Pilih seseorang yang menarik perhatian Anda.

  • Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut.

  • Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu.

  • Pikirkan, apa lagi yang perlu Anda ketahui mengenai orang itu, bagian mana dari hidupnya yang ingin lebih banyak Anda tuliskan.
    Beberapa pertanyaan yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan misalnya:
    1. Apa yang membuat orang ini istimewa atau menarik?
    2. Dampak apa yang telah ia lakukan bagi dunia atau orang lain?
    3. Kata sifat apa yang mungkin akan sering Anda gunakan untuk menggambarkan orang ini?
    4. Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut?
    5. Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang itu?
    6. Apakah ia mampu mengatasi rintangan tersebut? Apakah ia mengatasinya dengan mengambil resiko? Atau dengan keberuntungan?
    7. Apakah dunia akan menjadi lebih baik atau lebih buruk jika orang ini tidak pernah hidup? Bagaimana bisa dan mengapa?
    8. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari perpustakaan atau internet untuk membantu Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serta supaya cerita Anda lebih menarik. Bahan diterjemahkan oleh Ary dari:
      Situs : http://www.infoplease.com/homework/wsbiography.html